Pengaruh Politik Warnai Kebijakan Energi Nasional

Pengaruh Politik Warnai Kebijakan Energi Nasional

Jakarta, WartaKarya – Ada keunikan dalam kebijakan energi nasional yang dihasilkan pemerintah Indonesia dibandingkan dengan kebijakan yang dilakukan sejumlah negara lainnya.

Hal itu akibat pengaruh kuat lanskap politik di Indonesia. Terutama di sektor batubara yang disinyalir banyak elit politik di tingkat nasional maupun lokal yang ‘bermain’. Demikian dikatakan Pengamat energi dan Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa

Ia  menilai sektor batu bara memiliki keterikatan yang kuat dengan lanskap politik di Indonesia. “Disinyalir banyak elit baik di tingkat politik nasional maupun lokal yang berkaitan dengan industri batubara. Terlebih sejak desentralisasi perizinan diperkenalkan di awal reformasi, terjadi euforia di kalangan elit sehingga kencangnya konflik kepentingan yang ditimbulkan kerap menghambat perumusan agenda transisi energi,” Fabby seperti di kutip indonesiainside.id, di Jakarta kemarin.

Menurut Fabby, tekanan internasional dalam hal perubahan iklim dan daya saing teknologi energi dapat membuat kekayaan batubara nasional menjadi kutukan sumber daya pada masa depan.

“Dengan mempertimbangkan dinamika energi global, IESR mendesak pemerintah untuk melakukan kajian mengenai transisi energi dan masa depan industri batubara serta menyiapkan langkah-langkah transisi ekonomi,” papar Fabby.

Lebih jauh dikatakan, saat ini ada dua  kebijakan dalam energy nasional, yaitu peningkatan batu bara dan peningkatan bauran energi. Menurutnya, ketika negara lain mengembangkan energi terbarukan, maka biasanya justru pembangkit listrik yang menggunakan batubara yang coba dikurangi. Namun, dalam kebijakan di Indonesia justru batu bara dan energi terbarukan jalan berbarengan sehingga merupakan fenomena yang juga menarik.

“Untuk mengantisipasi kenaikan batubara di domestik, mulai 2012 kementerian ESDM menerapkan kebijakan DMO (kewajiban pasar dalam negeri) untuk batu bara,” jelasnya.

Ia mengingatkan, kebijakan itu dikeluarkan karena awalnya PLN mengalami kesulitan mendapatkan batu bara akibat komoditas tersebut lebih banyak diprioritaskan para penambang untuk diekspor.

Padahal, lanjut Fabby, meski batu bara masih cukup dominan dan dipakai di 78 negara serta menghasilkan 40 persen dari seluruh listrik dunia, tetapi di sejumlah negara berencana untuk mengurangi bahkan menghilangkan PLTU Batubara.

Dari 78 negara tersebut, lanjutnya, terdapat 30 negara yang telah merencanakan untuk menutup PLTU Batubara sebelum 2030 atau tidak membangun yang baru.

Di dalam negeri, ia berpendapat bahwa pada saat ini sebenarnya tidak ada satu pun pihak yang mengetahui kebutuhan batu bara misalnya selama jangka waktu 10 tahun lagi. (**ind/ant)